Sekiranya aku seorang
Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang
telah kita rampas sendiri kemerdekaannya
Ilustrasi upacara bendera
Hardiknas di Lhokseumawe.@ATJEHPOSTcom/Zulfikar Husein BANGSA Indonesia kerap
memperingati Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya. Namun
tahukah Anda kenapa Indonesia memilih tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan
Nasional? Merujuk catatan sejarah, tanggal 2 Mei merupakan hari kelahiran salah
satu tokoh pendidikan Indonesia.
Namanya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang kemudian dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Dia lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 dan meninggal di Yogyakarta pada 26 April 1959 pada umur 69 tahun.
Namanya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang kemudian dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Dia lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 dan meninggal di Yogyakarta pada 26 April 1959 pada umur 69 tahun.
Ki Hajar Dewantara
merupakan aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan
pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda.
Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang
memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk memperoleh hak pendidikan
seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Dia menciptakan semboyan
Tut Wuri Handayani yang kemudian menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional
Indonesia. Namanya turut diabadikan sebagai salah satu nama kapal perang
Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas
pecahan Rp20.000 tahun emisi 1998. Ia turut dikukuhkan sebagai pahlawan
nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959.
Pengukuhan ini berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305
Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
Soewardi berasal dari
lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS
(Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah
Dokter Bumiputera), tapi tidak tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai
penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden
Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Pada masanya Ki Hajar Dewantara tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya
komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial. Selain ulet sebagai seorang
wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak
berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk
menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa)
pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga
menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang
didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia
Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan
Indische Partij, Soewardi turut terlibat di dalamnya. Sewaktu pemerintah Hindia
Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk
perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, muncul reaksi
kritis dari kalangan nasionalis termasuk Soewardi. Ia menuliskan "Een voor
Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua
untuk Satu Juga".Kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya
Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"),
dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini
terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan
tersebut antara lain sebagai berikut. "Sekiranya aku seorang Belanda,
aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah
kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan
saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja
sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan
saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang
terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan
bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada
kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat Belanda
menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya
bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia
yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk
menulis dengan gaya demikian. Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan
Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan
sendiri). Tindakan ini mendapat reaksi dari kedua rekannya, DD dan Tjipto
Mangoenkoesoemo. Mereka memprotes kebijakan tersebut dan akhirnya turut
diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga
Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Setelah Indonesia merdeka, Ki Hajar Dewantara masuk dalam kabinet
pertama Republik Indonesia. KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia
(posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang
pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris
causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada.
Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak
Pendidikan Nasional Indonesia. Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26
April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar