Terkadang kita
saat berjalan-jalan atau sedang beraktivitas tertentu, menemukan barang yang
tidak diketahui pemiliknya. Apakah kita sebagai seorang muslim boleh
mengambilnya? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan cara memahami fikih tentang
luqathah (barang
temuan).
Pengertian Luqathah
Secara bahasa Luqathah berati
sesuatu yang ditemukan. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran :
“Maka
dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan
kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah
orang-orang yang bersalah.” (QS. Al-Qashash : 8)
Sedangkan
secara syar’i di dalam kitab Mughni Al-Muhtaj disebutkan adalah : segala benda yang
ditemukan di tempat yang tidak dikuasai seseorang, baik berbentuk harta mapun
barang, yang hilang dari pemiliknya, karena lengah atau terjatuh, dimana barang
itu bukan milik kafir harbi, sedangkan orang yang menemukannya tidak mengenal
siapa pemiliknya”.
Hukum-hukum Luqathah (barang temuan)
a. Barang Temuan Berbentuk
Sesuatu Yang Tidak Ada Harganya
Jika luqathah (barang
temuan) berbentuk sesuatu yang tidak ada harganya dalam arti tidak begitu
diminati manusia, misalnya sebutir kurma, atau sebutir biji gandum, atau kain
usang atau cambuk, atau cemeti, maka orang Muslim diperbolehkan memungutnya dan
memanfaatkannya sejak saat itu juga. Ia tak wajib mengumumkannya kepada
khalayak ramai dan tidak juga harus menjaganya. Dari Jabir Rodhiyallahu ‘Anhu
berkata, “Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi keringanan kepada
kita tentang tongkat, cemeti, tali dan sejenisnya. Itu semua boleh dipungut dan
memanfaatkannya.” [Diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud. Sanad hadits ini cacat,
namun jumhur ulama mengamalkannya. Imam Syaukani, Nailul Authar, Kitab
Al-Luqathah, hadits no 2460, hal. 1163].
b. Barang Temuan Yang Remeh
Atau Murah Harganya
Imam Syaukani
mengatakan, “Jika suatu barang temuan (al-luqathah) adalah
barang yang remeh atau murah harganya (yang diistilahkan al-muhaqqirat), maka
barang itu boleh dimiliki oleh penemunya, setelah diumumkan selama 3 (tiga)
hari” (Imam Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al-Luqathah, hal. 1163).
Hadits di atas
merupakan dalil bolehnya memiliki barang-barang yang remeh secara langsung (fi
al-hal). Namun hadits-hadits yang mutlak ini telah di-taqyid (diberi
pembatasan, persyaratan) oleh hadits-hadits lain yang mensyaratkan pengumuman
(ta’rif) barang temuan yang remeh oleh penemunya selama tiga
hari.
Dalam kondisi
demikian berlakulah kaidah ushuliyah : “Yuhmalul muthlaq ‘ala al-muqayyad” yang
berarti bahwa dalil yang mutlak (tanpa pembatasan, persyaratan) haruslah dibawa
pada dalil yang muqayyad (terdapat pembatasan, persyaratan). (Wahbah
Az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh Al-Islami, Juz I hal. 210).
Ya’la bin
Marrah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menemukanbarang
temuan yang remeh
berupa tali, uang satu dirham, atau yang semisal itu, maka hendaklah dia mengumumkannya
selama tiga hari. Jika itu lebih daripada itu, hendaklah dia mengumumkannya
selama enam hari.” (HR Ahmad, Thabrani, Baihaqi) (Imam Syaukani, Nailul Authar,
Kitab Al-Luqathah, hal. 1163).
Abu Said RA
meriwayatkan bahwa Ali datang kepada Nabi SAW membawa uang satu dinar yang dia
temukan di pasar. Maka berkatalah Nabi SAW, “Umumkanlah uang itu tiga hari.”
Ali pun mengerjakan perintah Nabi SAW tapi Ali tidak mendapatkan orang yang
mengenali uang itu. Maka Nabi SAW bersabda,”Makanlah uang itu.” (HR Abdur
Razaq) (Imam Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al-Luqathah, hal. 1163).
Dari
hadits-hadits di atas, Imam Syaukani –rahimahullah– berkata, “Maka penemu tidak
boleh memanfaatkan barang yang remeh, kecuali setelah dia umumkan temuannya
selama tiga hari, karena hadits yang mutlak harus dibawa kepada yang muqayyad.”
[fa-laa yajuuzu li al-multaqith an yantafi’a al-haqiir illa ba’da at-ta’riif
bihi tsalaatsan hamlan li al-mutlaq ‘ala al-muqayyad]. (Imam Syaukani, Nailul
Authar, Kitab Al-Luqathah, hal. 1163)
c. Barang Temuan Berbentuk
Sesuatu Yang Berharga
Jika luqathah
(barang temuan) berbentuk sesuatu yang berharga dan diminati kebanyakan orang,
maka multaqith (pemungut barang temuan) harus mengumumkannya selama setahun
penuh. Dalam jangka waktu setahun tersebut, ia umumkan di pintu-pintu masjid,
atau di tempat-tempat umum atau di koran atau di radio. Jika pemilik barang
temuan tadi datang kepadanya kemudian menyebutkan tempatnya beserta isinya,
atau jumlahnya, atau ciri -cirinya, ia harus memberikannya kepada orang
tersebut. Jika pemiliknya tidak datang kepadanya setelah setahun, ia boleh
memanfaatkannya, atau bersedekah dengannya, namun dengan niat menggantinya jika
pada suatu hari pemiliknya datang untuk memintanya.
“Dari Zaid bin
Khalid:sesungguhnya Nabi SAW, ditanya tentang Luqathah (Barang temuan) emas
dan perak, maka Nabi SAW. bersabda:Hendaklah engkau ketahui tempatnya dan
ikatanya, kemudian beritahukanlah selama satu tahun, maka jika datang yang
mempunyainya (barang temuan tersebut), maka berikanlah kepadanya, dan kecuali
apabila sudah satu tahun tidak datang, maka terserah kepadanya.”(HR.Bukhari dan
Muslim)
Selain itu ada
juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yaitu artinya : “Siapa yang
menyimpan barang yang hilang (maksudnya barang temuan) maka ia termasuk sesat
kecuali apabila ia memberitakan kepada umum dengan permberitahuan yang luas”
Bagaimana Dengan Harta Karun?
Dalam fikih,
harta karun tidak sama dengan barang temuan(luqhatah).
Harta Karun atau harta terpendam dikenal dengan istilah Ar-Rikaz.
Biasanya pembahasannya bersamaan dengan masalah barang tambang (Al-Ma’din).
Perbedaan utama antra ar-Rikaz dan luqathah adalah tempat ditemukannya.
Luqhatah ditemukan di tempat yang mudah dilihat oleh mata, sedangkan rikaz
biasanya tersembunyi dan tidak mudah ditemukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar